![]() |
Enam mantan pejabat Antam dituntut sembilan tahun penjara. |
JAKARTA, Kilas24News.Com – Sebanyak enam mantan pejabat PT Antam Tbk dituntut sembilan tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan kegiatan usaha komoditas emas.
Jaksa meyakini mereka terbukti bersalah melakukan perbuatan melawan hukum dalam korupsi kegiatan bisnis pencucian dan lebur cap emas yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 3,3 triliun.
Keenam terdakwa itu, di antaranya Vice President (VP) UBPP LM Antam periode 2008-2011, Tutik Kustiningsih; VP UBPP LM Antam periode 2011-2013, Herman; Senior Executive VP UBPP LM Antam periode 2013-2017, Dody Martimbang.
Kemudian, General Manager (GM) UBPP LM Antam periode 2017-2019, Abdul Hadi Aviciena; GM UBPP LM Antam periode 2019-2020, Muhammad Abi Anwar; dan GM UBPP LM Antam periode 2021-2022, Iwan Dahlan.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Abdul Hadi Aviciena dengan pidana penjara selama sembilan tahun, dikurangi selama terdakwa berada di dalam tahanan,” kata Jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis, 15 Mei 2025.
Selain pidana badan, Jaksa juga menuntut keenam terdakwa membayar denda Rp 750 juta subsidair enam bulan kurungan.
Dalam pertimbangannya, Jaksa menyebut perbuatan para terdakwa selaku pimpinan UBPP LM PT Antam terbukti memenuhi unsur Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Jaksa juga menyebut, tindakan para terdakwa membuat kepercayaan masyarakat terhadap emas produksi PT Antam menurun sebagai salah satu alasan yang memberatkan.
Kegiatan para terdakwa dinilai membuat PT Antam merugi karena para pengusaha swasta mendapatkan logam hasil lebur dan cap milik PT Antam. Padahal emas itu dimiliki mereka sendiri. Ketika emas itu dijual ke pasaran, mereka menjadi pesaing PT Antam.
Para pengusaha itu, di antaranya Lindawati Effendi, Suryadi Lukmantara, Suryadi Jonathan, James Tamponawas, Ho Kioen Tjay, Djudju Tanuwidjaja, dan Glouria Asih Rahayu.
Mereka dituntut berbeda mulai dari delapan hingga 12 tahun penjara dan uang pengganti ratusan miliar rupiah. (*/red)